Kamis, 31 Januari 2013

Seberapa Rasa Sayangmu untuk Ibu?

ORGINAL by Aini

Siang itu, seorang ibu tampak asyik berkumpul bersama keempat orang anaknya di beranda rumah mereka yang sederhana. Fera, anak yang tertua berumur 15 tahun, Fina yang kedua berumur 13 tahun, Fia yang ketiga berumur 11 tahun, dan si bungsu Fania berumur 7 tahun. Ibu itu tampak asyik membolak-balik sebuah majalah bersampul seorang wanita cantik berpakaian muslimah. Sementara anak-anaknya asyik bermain Monopoli. Siang itu cuaca cerah berawan, angin sepoi-sepoi yang membuat mereka terlarut dalam suasana santai.

Ketika membalik halaman majalah, mata sang Ibu tertumbuk pada pertanyaan di sebuah kolom di majalah tersebut. "Seberapa rasa sayangmu pada Bunda?". Sang ibu tersenyum, lalu kemudian tersirat untuk menanyakan hal itu pada anak-anaknya, hanya sekedar bermain saja.

"Anak-anak.. sini deh... Lihat nih di majalah ada pertanyaan... katanya.. Seberapa rasa sayangmu pada Bunda? Ibu pengen tau deh... kalo kalian gimana? Rasa sayang kalian sama Ibu bagaimana..?"

Keempat gadis itu serempak menghentikan permainannya, saling berpandangan, kemudian kompak mendatangi ibunya dan duduk mengelilingi ibunya sambil melihat majalah itu.

Si Sulung Fera bersuara.
"hmm.....  Ibu ingat waktu Papa mengajak Fera ke Puncak dan melihat Gunung Gede dari kejauhan?"
ibunya mengangguk.
"Rasa sayang Fera sama Ibu lebih tingggiiiiiii dari gunung itu..." ucapnya sambil memeluk ibunya.

Sang ibu tersenyum senang sambil mengelus rambut si Sulung.

"ng.. kalo Fina, rasa sayang Fina lebih dalaaam dari laut di pantai Pelabuhan Ratu". Ucap Fina gembira. Ibunya memeluk anak keduanya itu.

Si Bungsu tiba-tiba nyeletuk
"kalo Fania nih, Buu...Ibu ingat ngga waktu kita ngantri Istana Boneka di Dufan. itu kan panjaang sekali... sayang Fania sama Ibu lebih panjaaaanggg dari antrian Istana Boneka itu.."
Ucap Si Bungsu tidak mau kalah. Demi mendengar perumpamaan puteri kecilnya itu, sang Ibu tertawa tergelak.

Fia, hanya tersenyum sambil mendengarkan celotehan kakak-kakak dan adiknya.

Ibunya tersenyum "kalo Fia bagaimana?" tanyanya.

Fia tersenyum.
"Fia tidak bisa menggambarkan rasa sayang Fia, Bu.." ucapnya.

Sang Ibu tampak kecewa....
"Ya sudah ngga apa-apa... ayo sekarang kita istirahat yuk.. sudah jam 2 nih... " ajaknya.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Jam dinding rumah menunjukkan pukul setengah 4. Geliat aktivitas di rumah itu tampak terlihat di dapur. Ibu sedang menyiapkan masakan untuk makan malam mereka. Saat sedang menggoreng, Ibu ingat kalau dia tidak punya asam jawa untuk membuat sayur asam. Sementara, bahan-bahan sudah direbus di panci. Tiba-tiba Fina melewati dapur sambil membawa handuk, hendak mandi.

"ah kebetulan Fina... Ibu kehabisan asam jawa, nak... tolong belikan sebentar ke warung Bu Siti ya...". Fina terhenti dengan raut tidak suka.
:Fina kan mau mandi, bu.. tuh.. suruh Kak Fera aja..." katanya.
Fera yang merasa namanya disebut beranjak ke dapur dari ruangan TV.

"Ada apa, sih?" tanyanya.
"tuh, Kak.. Ibu kehabisan asam.. tolong beliin ke warung Bu Siti katanya, aku mau mandi.." sergah Fina.
Fera menyahut.
"Aku juga ngga bisa pergi dong... bentar lagi Ima datang mau mengerjakan PR bareng. Warung Bu Siti kan jauh, kalo nanti dia dateng aku ngga ada giman. Nanti dia malah pulang lagi.." elak Fera.

Ibu yang mendengar pertengkaran mereka memuncak kekesalannya.
"Sudah-sudah..! Ibu pergi sendiri saja!" ucapnya sambil mematikan kompor dan mengangkat ikan dari penggorengan.

Fania yang mendengar keributan mereka hanya diam saja. tidak mungkin Ibu menyuruhnya untuk pergi ke warung Bu Siti yang jaraknya sekitar 1 km. Dia masih kecil.

Tergopoh-gopoh ibu memasuki kamar sambil mengambil uang dari dompetnya. Fia yang masih tiduran di kamarnya dan tidak tahu pertengkaran itu melihat ibunya tergopoh-gopoh melewati kamarnya. Dia segera loncat dari tempat tidurnya.

"Ada apa sih, Bu? Kok buru-buru sekali..?" tanyanya.
Ibu yang sibuk mencari uang 500an berkata singkat.
"ibu mau beli asam. habis".
"Fia aja yang beli, Bu". ucap Fia sambil mengambil 2 logam uang 500an dari tangan ibunya.
"Kamu kan jam setengah 5 ada latihan karate?" balas ibunya.
"ngga apa-apa, Bu. sebentar ini kan... aku pakai sepeda aja..". ucap Fia sambil berlari keluar.

Ibu ikut berlari ke depan, dia melihat Fia tangkas mengambil sepedanya, kemudian mengayuhnya dengan wajah riang. Tiba-tiba terbayang wajah Fia tadi siang, sambil tersenyum ia berkata.

"Fia tidak bisa menggambarkan rasa sayang Fia, Bu.."

Kamis, 24 Januari 2013

Kisah Sebuah Pernikahan

Hari pernikahanku. Hari yang paling bersejarah dalam hidup. Seharusnya
saat itu aku menjadi makhluk yang paling berbahagia. Tapi yang aku rasakan
justru rasa haru biru. Betapa tidak. Di hari bersejarah ini tak ada
satupun sanak saudara yang menemaniku ke tempat mempelai wanita. Apalagi ibu.
Beliau yang paling keras menentang perkawinanku.
Masih kuingat betul perkataan ibu tempo hari, "Jadi juga kau nikah sama
'buntelan karung hitam' itu ....?!?"

Duh......, hatiku sempat kebat-kebit mendengar ucapan itu. Masa calon
istriku disebut 'buntelan karung hitam'.
"Kamu sudah kena pelet barangkali Yanto. Masa suka sih sama gadis hitam,
gendut dengan wajah yang sama sekali tak menarik dan cacat kakinya. Lebih
tua beberapa tahun lagi dibanding kamu !!" sambung ibu lagi.
"Cukup Bu! Cukup! Tak usah ibu menghina sekasar itu. Dia kan ciptaan
Allah. Bagaimana jika pencipta-Nya marah sama ibu...?" Kali ini aku terpaksa
menimpali ucapan ibu dengan sedikit emosi. Rupanya ibu amat tersinggung
mendengar ucapanku.
"Oh.... rupanya kau lebih memillih perempuan itu ketimbang keluargamu.
baiklah Yanto. Silahkan kau menikah tapi jangan harap kau akan dapatkan
seorang dari kami ada di tempatmu saat itu. Dan jangan kau bawa perempuan
itu ke rumah ini !!"
DEGG !!!!

"Yanto.... jangan bengong terus. Sebentar lagi penghulu tiba," teguran
Ismail membuyarkan lamunanku.
Segera kuucapkan istighfar dalam hati.
"Alhamdulillah penghulu sudah tiba. Bersiaplah ...akhi," sekali lagi
Ismail memberi semangat padaku.
"Aku terima nikahnya, kawinnya Shalihah binti Mahmud almarhum dengan mas
kawin seperangkat alat sholat tunai !" Alhamdulillah lancar juga aku
mengucapkan aqad nikah.
"Ya Allah hari ini telah Engkau izinkan aku untuk meraih setengah dien.
Mudahkanlah aku untuk meraih sebagian yang lain."
Dikamar yang amat sederhana. Di atas dipan kayu ini aku tertegun lama.
Memandangi istriku yang tengah tertunduk larut dalam dan diam. Setelah
sekian lama kami saling diam, akhirnya dengan membaca basmalah dalam hati
kuberanikan diri untuk menyapanya.

"Assalamu'alaikum .... permintaan hafalan Qur'annya mau di cek kapan
De'...?" tanyaku sambil memandangi wajahnya yang sejak tadi disembunyikan
dalam tunduknya. Sebelum menikah, istriku memang pernah meminta malam
pertama hingga ke sepuluh agar aku membacakan hafalan Qur'an
tiap malam satu juz. Dan permintaan itu telah aku setujui. "Nanti saja
dalam qiyamullail," jawab istriku, masih dalam tunduknya. Wajahnya yang
berbalut kerudung putih, ia sembunyikan dalam-dalam. Saat kuangkat
dagunya, ia seperti ingin menolak. Namun ketika aku beri isyarat bahwa aku
suaminya dan berhak untuk melakukan itu , ia menyerah.
Kini aku tertegun lama. Benar kata ibu ..bahwa wajah istriku 'tidak
menarik'. Sekelebat pikiran itu muncul ....dan segera aku mengusirnya.
Matanya berkaca-kaca menatap lekat pada bola mataku.

"Bang, sudah saya katakan sejak awal ta'aruf, bahwa fisik saya seperti
ini. Kalau Abang kecewa, saya siap dan ikhlas. Namun bila Abang tidak menyesal
beristrikan saya, mudah-mudahan Allah memberikan keberkahan yang banyak
untuk Abang. Seperti keberkahan yang Allah limpahkan kepada Ayahnya Imam
malik yang ikhlas menerima sesuatu yang tidak ia sukai pada istrinya.
Saya ingin mengingatkan Abang akan firman Allah yang dibacakan ibunya Imam
Malik pada suaminya pada malam pertama pernikahan mereka," ...
Dan bergaullah dengan mereka (istrimu) dengat patut (ahsan). Kemudian
bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjanjikan padanya kebaikan yang
banyak."
(QS An-Nisa:19)

Mendengar tutur istriku, kupandangi wajahnya yang penuh dengan air mata
itu lekat-lekat. Aku teringat kisah suami yang rela menikahi seorang wanita
yang memiliki cacat itu. Dari rahim wanita itulah lahir Imam Malik, ulama
besar ummat Islam yang namanya abadi dalam sejarah.
"Ya Rabbi aku menikahinya karena Mu. Maka turunkanlah rasa cinta dan
kasih sayang milikMu pada hatiku untuknya. Agar aku dapat mencintai dan
menyayanginya dengan segenap hati yang ikhlas."
Pelan kudekati istriku. Lalu dengan bergetar, kurengkuh tubuhya dalam
dekapku. Sementara, istriku menangis tergugu dalam wajah yang masih
menyisakan segumpal ragu.
"Jangan memaksakan diri untuk ikhlas menerima saya, Bang. Sungguh... saya
siap menerima keputusan apapun yang terburuk," ucapnya lagi.
"Tidak...De'.
Sungguh sejak awal niat Abang menikahimu karena Allah.
Sudah teramat bulat niat itu. Hingga Abang tidak menghiraukan ketika
seluruh keluarga memboikot untuk tak datang tadi pagi," paparku sambil
menggenggam erat tangannya.
Malam telah naik ke puncaknya pelan-pelan. Dalam lengangnya bait-bait
do'a kubentangkan pada Nya.

"Robbi, tak dapat kupungkiri bahwa kecantikan wanita dapat mendatangkan
cinta buat laki-laki. Namun telah kutepis memilih istri karena rupa yang
cantik karena aku ingin mendapatkan cinta-Mu. Robbi saksikanlah malam ini
akan kubuktikan bahwa cinta sejatiku hanya akan kupasrahkan pada-Mu.
Karera itu, pertemukanlah aku dengan-Mu dalam Jannah-Mu !"
Aku beringsut menuju pembaringan yang amat sederhana itu. Lalu kutatap
raut wajah istriku denan segenap hati yang ikhlas. Ah, .. sekarang aku
benar-benar mencintainya. Kenapa tidak? Bukankah ia wanita sholihah
sejati. Ia senantiasa menegakkan malam-malamnya dengan munajat panjang pada-Nya.
Ia senantiasa menjaga hafalan KitabNya. Dan senantiasa melaksanakan shoum
sunnah Rasul Nya. "...dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya
pada Allah ..." (QS. al-Baqarah:165)
=========================================
Ya Allah sesungguhnya aku ini lemah , maka kuatkanlah aku dan aku ini
hina maka muliakanlah aku
dan aku fakir maka kayakanlah aku wahai Dzat yang maha Pengasih

Kasih Sepanjang Jalan


Di stasiun kereta api bawah tanah Tokyo, aku merapatkan mantel wol tebalku erat-erat. Pukul 5 pagi. Musim dingin yang hebat. Udara terasa beku mengigit. Januari ini memang terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Di luar salju masih turun dengan lebat sejak kemarin. Tokyo tahun ini terselimuti salju tebal, memutihkan segenap pemandangan. 

Stasiun yang selalu ramai ini agak sepi karena hari masih pagi. Ada seorang kakek tua di ujung kursi, melenggut menahan kantuk. Aku melangkah perlahan ke arah mesin minuman. Sesaat setelah sekeping uang logam aku masukkan, sekaleng capucino hangat berpindah ke tanganku. Kopi itu sejenak menghangatkan tubuhku, tapi tak lama karena ketika tanganku menyentuh kartu pos di saku mantel, kembali aku berdebar. 

Tiga hari yang lalu kartu pos ini tiba di apartemenku. Tidak banyak beritanya, hanya sebuah pesan singkat yang dikirim adikku, "Ibu sakit keras dan ingin sekali bertemu kakak. Kalau kakak tidak ingin menyesal, pulanglah meski sebentar, kakc". Aku mengeluh perlahan membuang sesal yang bertumpuk di dada. Kartu pos ini dikirim Asih setelah beberapa kali ia menelponku tapi aku tak begitu menggubris ceritanya. Mungkin ia bosan, hingga akhirnya hanya kartu ini yang dikirimnya. Ah, waktu seperti bergerak lamban, aku ingin segera tiba di rumah, tiba-tiba rinduku pada ibu tak tertahan. Tuhan, beri aku waktu, aku tak ingin menyesal.

Sebenarnya aku sendiri masih tak punya waktu untuk pulang. Kesibukanku bekerja di sebuah perusahaan swasta di kawasan Yokohama, ditambah lagi mengurus dua puteri remajaku, membuat aku seperti tenggelam dalam kesibukan di negeri sakura ini. Inipun aku pulang setelah kemarin menyelesaikan sedikit urusan pekerjaan di Tokyo. Lagi-lagi urusan pekerjaan. 

Sudah hampir dua puluh tahun aku menetap di Jepang. Tepatnya sejak aku menikah dengan Emura, pria Jepang yang aku kenal di Yogyakarta, kota kelahiranku. Pada saat itu Emura sendiri memang sedang di Yogya dalam rangka urusan kerjanya. Setahun setelah perkenalan itu, kami menikah.
Masih tergambar jelas dalam ingatanku wajah ibu yang menjadi murung ketika aku mengungkapkan rencana pernikahan itu. Ibu meragukan kebahagiaanku kelak menikah dengan pria asing ini. Karena tentu saja begitu banyak perbedaan budaya yang ada diantara kami, dan tentu saja ibu sedih karena aku harus berpisah dengan keluarga untuk mengikuti Emura. Saat itu aku berkeras dan tak terlalu menggubris kekhawatiran ibu. 

Pada akhirnya memang benar kata ibu, tidak mudah menjadi istri orang asing. Di awal pernikahan begitu banyak pengorbanan yang harus aku keluarkan dalam rangka adaptasi, demi keutuhan rumah tangga. Hampir saja biduk rumah tangga tak bisa kami pertahankan. Ketika semua hampir karam, Ibu banyak membantu kami dengan nasehat-nasehatnya. Akhirnya kami memang bisa sejalan. Emura juga pada dasarnya baik dan penyayang, tidak banyak tuntutan.
Namun ada satu kecemasan ibu yang tak terelakkan, perpisahan. Sejak menikah aku mengikuti Emura ke negaranya. Aku sendiri memang sangat kesepian diawal masa jauh dari keluarga, terutama ibu, tapi kesibukan mengurus rumah tangga mengalihkan perasaanku. Ketika anak-anak beranjak remaja, aku juga mulai bekerja untuk membunuh waktu.

Aku tersentak ketika mendengar pemberitahuan kereta Narita Expres yang aku tunggu akan segera tiba. Waktu seperti terus memburu, sementara dingin semakin membuatku menggigil. Sesaat setelah melompat ke dalam kereta aku bernafas lega. Udara hangat dalam kereta mencairkan sedikit kedinginanku. Tidak semua kursi terisi di kereta ini dan hampir semua penumpang terlihat tidur. Setelah menemukan nomor kursi dan melonggarkan ikatan syal tebal yang melilit di leher, aku merebahkan tubuh yang penat dan berharap bisa tidur sejenak seperti mereka. Tapi ternyata tidak, kenangan masa lalu yang terputus tadi mendadak kembali berputar dalam ingatanku.
Ibu..ya betapa kusadari kini sudah hampir empat tahun aku tak bertemu dengannya. Di tengah kesibukan, waktu terasa cepat sekali berputar. Terakhir ketika aku pulang menemani puteriku, Rikako dan Yuka, liburan musim panas. Hanya dua minggu di sana, itupun aku masih disibukkan dengan urusan kantor yang cabangnya ada di Jakarta. Selama ini aku pikir ibu cukup bahagia dengan uang kiriman ku yang teratur setiap bulan. Selama ini aku pikir materi cukup untuk menggantikan semuanya. Mendadak mataku terasa panas, ada perih yang menyesakkan dadaku. "Aku pulang bu, maafkan keteledoranku selama ini" bisikku perlahan. 

Cahaya matahari pagi meremang. Kereta api yang melesat cepat seperti peluru ini masih terasa lamban untukku. Betapa masih jauh jarak yang terentang. Aku menatap ke luar. Salju yang masih saja turun menghalangi pandanganku. Tumpukan salju memutihkan segenap penjuru. Tiba-tiba aku teringat Yuka puteri sulungku yang duduk di bangku SMA kelas dua. Bisa dikatakan ia tak berbeda dengan remaja lainnya di Jepang ini. Meski tak terjerumus sepenuhnya pada kehidupan bebas remaja kota besar, tapi Yuka sangat ekspresif dan semaunya. Tak jarang kami berbeda pendapat tentang banyak hal, tentang norma-norma pergaulan atau bagaimana sopan santun terhadap orang tua.
Aku sering protes kalau Yuka pergi lama dengan teman-temannya tanpa idzin padaku atau papanya. Karena aku dibuat menderita dan gelisah tak karuan dibuatnya. Terus terang kehidupan remaja Jepang yang kian bebas membuatku khawatir sekali. Tapi menurut Yuka hal itu biasa, pamit atau selalu lapor padaku dimana dia berada, menurutnya membuat ia stres saja. Ia ingin aku mempercayainya dan memberikan kebebasan padanya. Menurutnya ia akan menjaga diri dengan sebaik-baiknya. Untuk menghindari pertengkaran semakin hebat, aku mengalah meski akhirnya sering memendam gelisah. 

Riko juga begitu, sering ia tak menggubris nasehatku, asyik dengan urusan sekolah dan teman-temannya. Papanya tak banyak komentar. Dia sempat bilang mungkin itu karena kesalahanku juga yang kurang menyediakan waktu buat mereka karena kesibukan bekerja. Mereka jadi seperti tidak membutuhkan mamanya. Tapi aku berdalih justru aku bekerja karena sepi di rumah akibat anak-anak yang berangkat dewasa dan jarang di rumah. Dulupun aku bekerja ketika si bungsu Riko telah menamatkan SD nya. Namun memang dalam hati ku akui, aku kurang bisa membagi waktu antara kerja dan keluarga.
Melihat anak-anak yang cenderung semaunya, aku frustasi juga, tapi akhirnya aku alihkan dengan semakin menenggelamkan diri dalam kesibukan kerja. Aku jadi teringat masa remajaku. Betapa ku ingat kini, diantara ke lima anak ibu, hanya aku yang paling sering tidak mengikuti anjurannya. Aku menyesal. Sekarang aku bisa merasakan bagaimana perasaan ibu ketika aku mengabaikan kata-katanya, tentu sama dengan sedih yang aku rasakan ketika Yuka jatau Riko juga sering mengabaikanku. Sekarang aku menyadari dan menyesali semuanya. Tentu sikap kedua puteri ku adalah peringatan yang Allah berikan atas keteledoranku dimasa lalu. Aku ingin mencium tangan ibu.... 

Di luar salju semakin tebal, semakin aku tak bisa melihat pemandangan, semua menjadi kabur tersaput butiran salju yang putih. Juga semakin kabur oleh rinai air mataku. Tergambar lagi dalam benakku, saat setiap sore ibu mengingatkan kami kalau tidak pergi mengaji ke surau. Ibu sendiri sangat taat beribadah. Melihat ibu khusu' tahajud di tengah malam atau berkali-kali mengkhatamkan alqur'an adalah pemandangan biasa buatku. Ah..teringat ibu semakin tak tahan aku menanggung rindu. Entah sudah berapa kali kutengok arloji dipergelangan tangan.
Akhirnya setelah menyelesaikan semua urusan boarding-pass di bandara Narita, aku harus bersabar lagi di pesawat. Tujuh jam perjalanan bukan waktu yang sebentar buat yang sedang memburu waktu seperti aku. Senyum ibu seperti terus mengikutiku. Syukurlah, Window-seat, no smoking area, membuat aku sedikit bernafas lega, paling tidak untuk menutupi kegelisahanku pada penumpang lain dan untuk berdzikir menghapus sesak yang memenuhi dada. Melayang-layang di atas samudera fasifik sambil berdzikir memohon ampunan-Nya membuat aku sedikit tenang. Gumpalan awan putih di luar seperti gumpalan-gumpalan rindu pada ibu.
Yogya belum banyak berubah. Semuanya masih seperti dulu ketika terakhir aku meninggalkannya. Kembali ke Yogya seperti kembali ke masa lalu. Kota ini memendam semua kenanganku. Melewati jalan-jalan yang dulu selalu aku lalui, seperti menarikku ke masa-masa silam itu. Kota ini telah membesarkanku, maka tak terbilang banyaknya kenangan didalamnya. Terutama kenangan-kenangan manis bersama ibu yang selalu mewarnai semua hari-hariku. Teringat itu, semakin tak sabar aku untuk bertemu ibu. 

Rumah berhalaman besar itu seperti tidak lapuk dimakan waktu, rasanya masih seperti ketika aku kecil dan berlari-lari diantara tanaman-tanaman itu, tentu karena selama ini ibu rajin merawatnya. Namun ada satu yang berubah, ibu...
Wajah ibu masih teduh dan bijak seperti dulu, meski usia telah senja tapi ibu tidak terlihat tua, hanya saja ibu terbaring lemah tidak berdaya, tidak sesegar biasanya. Aku berlutut disisi pembaringannya, "Ibu...Rini datang, bu..", gemetar bibirku memanggilnya. Ku raih tangan ibu perlahan dan mendekapnya didadaku. Ketika kucium tangannya, butiran air mataku membasahinya. Perlahan mata ibu terbuka dan senyum ibu, senyum yang aku rindu itu, mengukir di wajahnya. Setelah itu entah berapa lama kami berpelukan melepas rindu. Ibu mengusap rambutku, pipinya basah oleh air mata. Dari matanya aku tahu ibu juga menyimpan derita yang sama, rindu pada anaknya yang telah sekian lama tidak berjumpa. "Maafkan Rini, Bu.." ucapku berkali-kali, betapa kini aku menyadari semua kekeliruanku selama ini.
***

Kekuatan Tanpa Kekerasan

Dulu ketika saya masih berusia 17 tahun dan masih tinggal jauh di pedalaman bersama orang tua, saya sangat senang bila ada kesempatan untuk pergi ke kota meski hanya untuk menemani ibu atau ayah berbelanja ke pasar.

Suatu hari, ayah meminta saya untuk mengantarkan beliau ke kota guna menghadiri konferensi sehari penuh. Karena tahu kami akan pergi ke kota, ibu memberikan daftar belanjaan yang ia perlukan. Selain itu, ayah juga meminta untuk mengerjakan beberapa pekerjaan yang lama tertunda, seperti memperbaiki mobil di bengkel.

Pagi itu, setiba di tempat konferensi, ayah berpesan, “Ayah akan tunggu kamu di sini jam 5 sore. Lalu kita akan pulang ke rumah bersama-sama. Sekarang pergilah ke bengkel.”

Segera saja saya melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang telah diberikan ayah dan mencarikan pesanan ibu. Karena waktu masih banyak tersisa dan semua tugas telah saya selesaikan, maka saya putuskan untuk pergi ke bioskop dulu sambil menunggu waktu. Saya terpikat dengan cerita filmnya sampai-sampai saya lupa akan waktu. Begitu melihat jam telah menunjukkan pukul 17:30, langsung saja saya berlari menuju bengkel mobil dan terburu-buru menjemput ayah yang sudah menunggu dari tadi. 

Saat itu sudah hampir pukul 18:00 ketika saya tiba di tempat ayah menunggu. Dengan gelisah ayah menanyai saya, “Kenapa kau terlambat?”

Saya sangat malu untuk mengakui bahwa saya menonton film, sehingga saya hanya menjawab, “Oo..Oo..Tadi, mobilnya belum selesai yah, sehingga saya harus menunggu lama.” Ternyata tanpa sepengetahuan saya, ayah telah menelepon bengkel mobil tersebut. Dan kini ayah tahu kalau saya telah berbohong.

Dengan sedih ayah berkata kepada saya, “Ada sesuatu yang salah dalam membesarkanmu selama ini sehingga kamu tidak memiliki keberanian untuk menceritakan yang sebenarnya kepada ayahmu sendiri. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, ayah akan pulang ke rumah dengan berjalan kaki sepanjang 18 mil dan memikirkan hal ini baik-baik.”

Lalu, ayah mulai berjalan kaki pulang ke rumah. Padahal hari sudah gelap, sedangkan jalanan sama sekali tidak rata. Saya tidak bisa meninggalkan ayah begitu saja, maka selama lima setengah jam, saya mengendarai mobil pelan-pelan di belakang beliau, melihat penderitaan yang ia alami karena kebohongan bodoh yang saya lakukan. 

Sejak itu seringkali saya berfikir dan merasa heran. Mengapa ayah menghukum saya seperti itu, seandainya ayah menghukum saya seperti pada setiap orang tua pada umumnya, apakah saya akan mendapatkan SEBUAH PELAJARAN MENGENAI KESALAHAN ? Saya kira tidak, saya akan menderita atas hukuman itu dan akan mengulangi hal yang sama pada anak-anak saya kelak. Tetapi, hanya dengan satu tindakan tanpa kekerasan yang sangat luar biasa dari ayah, dapat menyedarkan saya dan memberi kesan yang sungguh mendalam sehingga saya merasa kejadian itu baru saja terjadi kemarin. Itulah KEKUATAN TANPA KEKERASAN yang telah diajarkan oleh ayah saya."

Karena Aku Tak Pernah Meninggalkannya


Kisah yang menyentuh, tentang suami istri yang saling mencintai dan saling setia. Mudah2an dapat menjadi renungan dan motivasi bersama di hari ini.

“Namaku Linda & aku memiliki sebuah kisah cinta yang memberiku sebuah pelajaran tentangnya. Ini bukanlah sebuah kisah cinta hebat & mengagumkan penuh gairah seperti dalam novel-novel roman, walau begitu menurutku ini adalah kisah yang jauh lebih mengagumkan dari itu semua.

Ini adalah kisah cinta ayahku, Mohammed Huda alhabsyi & ibuku, Yasmine Ghauri. Mereka bertemu disebuah acara resepsi pernikahan & kata ayahku ia jatuh cinta pada pandangan pertama ketika ibuku masuk kedalam ruangan & saat itu ia tahu, inilah wanita yang akan menikah dengannya. Itu menjadi kenyataan & kini mereka telah menikah selama 40 tahun & memiliki tiga orang anak, aku anak tertua, telah menikah & memberikan mereka dua orang cucu.

Mereka bahagia & selama bertahun-tahun telah menjadi orang tua yang sangat baik bagi kami, mereka membimbing kami, anak-anaknya dengan penuh cinta kasih & kebijaksanaan.

Aku teringat suatu hari ketika aku masih berusia belasan tahun. Saat itu beberapa ibu-ibu tetangga kami mengajak ibuku pergi kepembukaan pasar murah yang mengobral alat-alat kebutuhan rumah tangga. Mereka mengatakan saat pembukaan adalah saat terbaik untuk berbelanja barang obral karena saat itu saat termurah dengan kualitas barang-barang terbaik.


Tapi ibuku menolaknya karena ayahku sebentar lagi pulang dari kantor. Kata ibuku,”Mama tak akan pernah meninggalkan papa sendirian”.

Hal itu yang selalu dicamkan oleh ibuku kepadaku. Apapun yang terjadi, sebagai seorang wanita aku harus patuh pada suamiku & selalu menemaninya dalam keadaan apapun, baik miskin, kaya, sehat maupun sakit. Seorang wanita harus bisa menjadi teman hidup suaminya. Banyak orang tertawa mendengar hal itu menurut mereka, itu hanya janji pernikahan, omong kosong belaka. Tapi aku tak pernah memperdulikan mereka, aku percaya nasihat ibuku.

Sampai suatu hari, bertahun-tahun kemudian, kami mengalami duka, setelah ulang tahun ibuku yang ke-59, ibuku terjatuh di kamar mandi & menjadi lumpuh. Dokter mengatakan kalau saraf tulang belakang ibuku tidak berfungsi lagi, & dia harus menghabiskan sisa hidupnya di tempat tidur.

Ayahku, seorang pria yang masih sehat diusianya yang lebih tua, tapi ia tetap merawat ibuku, menyuapinya, bercerita banyak hal padanya, mengatakan padanya kalau ia mencintainya. Ayahku tak pernah meninggalkannya, selama bertahun-tahun, hampir setiap hari ayahku selalu menemaninya, ia masih suka bercanda-canda dengan ibuku. Ayahku pernah mencatkan kuku tangan ibuku, & ketika ibuku bertanya ,”untuk apa kau lakukan itu? Aku sudah sangat tua & jelek sekali”.

Ayahku menjawab, “aku ingin kau tetap merasa cantik”. Begitulah pekerjaan ayahku sehari-hari, ia merawat ibuku dengan penuh kelembutan & kasih sayang, para kenalan yang mengenalnya sangat hormat dengannya. Mereka sangat kagum dengan kasih sayang ayahku pada ibuku yang tak pernah pudar.

Suatu hari ibu berkata padaku sambil tersenyum,”…kau tahu, Linda. Ayahmu tak akan pernah meninggalkan aku…kau tahu kenapa?” Aku menggeleng & ibuku melanjutkan, “karena aku tak pernah meninggalkannya…”

Itulah kisah cinta ayahku, Mohammed Huda Alhabsyi & ibuku, Yasmine Ghauri, mereka memberikan kami anak-anaknya pelajaran tentang tanggung jawab, kesetiaan, rasa hormat, saling menghargai, kebersamaan, & cinta kasih. Bukan dengan kata-kata, tapi mereka memberikan contoh dari kehidupannya.

sumber : http://kumpulanceritamotivasi.blogspot.com/2009/08/semakin-banyak-memberi-semakin-banyak.ht

Rabu, 23 Januari 2013

Perempuan yang Dicintai Suamiku



Kehidupan pernikahan kami awalnya baik-baik saja menurutku.Meskipun menjelang pernikahan selalu terjadi konflik, tapi setelah menikah Angga tampak baik dan lebih menuruti apa mauku.

Kami tidak pernah bertengkar hebat, kalau marah dia cenderung diam dan pergi ke kantornya bekerja sampai subuh, baru pulang ke rumah, mandi, kemudian mengantar anak kami sekolah. Tidurnya sangat sedikit, makannyapun sedikit. Aku pikir dia Workaholic.



Dia menciumku maksimal dua kali sehari, pagi menjelang kerja, dan saat dia pulang kerja, itupun kalau aku masih bangun. Karna waktu pacaran dia tidak pernah romantis, aku pikir memang dia tidak romantis, dan tidak memerlukan hal-hal seperti itu sebagai ungkapan sayang.

Kami jarang ngobrol sampai malam, kami jarang pergi nonton berdua, bahkan makan malam berduapun hampir tidak pernah. Kalau kami makan di meja makan berdua, kami asyik sendiri dengan sendok garpu kami, bukan obrolan yang terdengar, hanya denting piring yang beradu dengan sendok garpu.



Kalau hari libur dia lebih sering tiduran di kamar, atau main dengan anak-anak kami, dia jarang sekali tertawa lepas. Karna dia sangat pendiam, aku menyangka dia memang tidak suka tertawa lepas.

Aku mengira rumah tangga kami baik-baik saja selama 8 tahun pernikahan kami. Sampai suatu ketika, disuatu hari yang terik, saat itu suamiku tergolek sakit di rumah sakit, karna jarang makan, dan sering jajan dikantornya, dibanding makan di rumah, dia kena typhoid, dan harus dirawat di rumah sakit, karna sampai terjadi perforasi di ususnya. Pada saat dia masih di ICU, seorang perempuan datang menjenguknya. Dia memperkenalkan diri, bernama Wina, temannya Angga saat dulu kuliah.



Wina tidak secantik aku, dia begitu sederhana, tapi aku tidak pernah melihat mata yang begitu cantik seperti yang dia miliki. Matanya bersinar indah, penuh kehangatan, dan penuh cinta, ketika dia berbicara seakan-akan waktu berhenti berputar dan terpana dengan kalimat-kalimatnya yang ringan dan penuh pesona. Setiap orang, laki-laki maupun perempuan bahkan mungkin serangga yang lewat, akan jatuh cinta begitu mendengar dia bercerita.

Wina tidak pernah kenal dekat dengan Angga selama mereka kuliah dulu. Wina bercerita bahwa Angga sangat pendiam, sehingga jarang punya teman yang akrab. lima bulan lalu mereka bertemu, karna ada pekerjaan kantor mereka yang memepertemukan mereka. Wina yang bekerja di advertising akhirnya bertemu dengan Angga yang sedang membuat iklan untuk perusahaan tempatnya bekerja.



Aku mulai mengingat-ngingat. lima bulan yang lau, ada perubahan yang cukup drastis pada Angga. Setiap mau pergi kerja, dia tersenyum manis padaku, dan dalam sehari bisa mencium lebih dari tiga kali. Dia membelikan aku parfum baru, danmulai sering tertawa lepas. Tapi disaat lain, dia sering termenung di depan computernya, atau termenung memegang HP nya. Kalau aku tanya, dia bilang, ada pekerjaan yang membingungkan.

Suatu saat Wina pernah datang pada saat Angga sakit dan masih di rawat di Rumah Sakit. Aku sedang memegang piring beserta lauknya dengan wajah kesal, karna Angga tidak juga mau aku suapi, Wina masuk kamar, dan menyapa dengan suara riangnya,

"Hai Lanie, kenapa dengan anak sulungmu yang nomor satu ini? tidak mau makan juga? uuh... dasar anak nakal, sini piringnya,". 

lalu Ia terus mengajak Angga bercerita sambil menyuapi Angga, tiba-tiba saja sepiring nasi itu sudah habis ditangannya. Dan........ aku tidak pernah melihat tatapan penuh cinta yang terpancar dari mata suamiku, seperti siang itu, tidak pernah seumur hidupku yang aku lalui bersamanya, tidak pernah sedetikpun !



Hatiku terasa sakit, lebih sakit dari ketika dia membalikkan tubuhnya membelakangi aku saat aku memeluknya dan berharap dia mencumbuku. Lebih sakit dari setelah operasi caesar ketika aku melahirkan anaknya. Lebih sakit dari rasa sakit, ketika dia tidak mau memakan masakan yang aku buat dengan susah payah. Lebih sakit dari ketika dia tidak pulang ke rumah saat ulang tahun perkawinan kami kemarin. Lebih sakit dari rasa sakit ketika dia lebih suka mencumbu computernya dibanding aku.



Tapi aku tidak pernah bisa marah setiap melihat perempuan itu. Wina begitu manis, dia bisa hadir tiba-tiba, membawakan donat buat anak-anak, dan membawakan eggroll kesukaanku. Dia mengajakku jalan-jalan, kadang mengajakku nonton. Kali lain, dia datang bersama suami dan kedua anaknya yang lucu-lucu. Aku tidak pernah bertanya, apakah suamiku mencintai perempuan berhati bidadari itu? Karna tanpa bertanyapun aku sudah tahu, apa yang bergejolak dihatinya.


Suatu sore, mendung begitu menyelimuti Jakarta. Aku tidak pernah menyangka, hatikupun akan mendung. Bahkan gerimis kemudian. Anak sulungku, seorang anak perempuan cantik berusia 7 tahun, rambutnya keriting ikal dan cerdasnya sama seperti Ayahnya. Dia berhasil membuka Password Email Papanya dan memanggilku. "Mama, mau liat surat Papa buat Tante Wina?".
Aku tertegun memandangnya, dan membaca surat elektronik itu.
Dear Wina, Kehadiranmu bagai beribu bintang gemerlapyang mengisi seluruh relung hatiku, aku tidak pernah merasakan jatuh cinta seperti ini, Bahkan pada Lanie. Aku mencintai Lanie karna kondisi yang mengharuskan aku mencintainya, karna dia Ibu dari anak-anakku. Ketika aku menikahinya, aku tetap tidak tahu apakah aku sungguh-sungguh mencintainya. Tidak ada perasaan bergetar seperti ketika aku memandangmu, tidak ada perasaan rindu yang tidak pernah padam ketika aku tidak menjumpainya. Aku hanya tidak ingin menyakiti perasaannya. Ketika konflik-konflik terjadi saat kami pacaran dulu, aku sebenarnya kecewa. Tapi, aku tidak sanggup mengatakan padanya bahwa dia bukanlahperempuan yang aku cari untuk mengisi kekosongan hatiku. Hatiku tetap terasa hampa, meskipun aku menikahinya.
Aku tidak tahu bagaimana cara menumbuhkan cinta untuknya, seperti ketika cinta untukmu tumbuh secara alami. Seperti pohon-pohon beringin yang tumbuh kokoh tanpa pernah mendapat siraman dari pemiliknya. Seperti pepohonan di hutan belantara yang tidak pernah minta disirami, namun tumbuh dengan lebat secara alami. Itu yang aku rasakan.
Aku tidak akan pernah bisa memilikimu, karna kau sudah jadi milik orang lain dan aku adalah laki-laki yang sangat memegang komitmen pernikahan kami. Meskipun hatiku terasa hampa, itu tidaklah mengapa asal aku bisa melihat Lanie bahagia dan tertawa. Dia bisa mendapatkan segala yang Ia inginkan selama aku mampu. Dia boleh mendapatkan seluruh harta dan tubuhku, tapi tidak jiwaku dan cintaku, yang hanya aku berikan untukmu. Meskipun ada tembok yang menghalangi kita, aku hanya berharap bahwa engkau mengerti, You are the only one in my heart.
Yours, Angga

Mataku terasa panas. Alika, anak sulungku memeluk erat. Meskipun baru berusia 7 tahun, dia adalah malaikat jelitaku yang sangat mengerti dan menyayangiku.
Suamiku tidak pernah mencintaiku. Dia tidak pernah bahagia bersamaku. Dia mencintai perempuan lain.
Aku mengumpulkan kekuatanku. Sejak itu, aku selalu menulis surat untuk suamiku. Surat itu aku simpan diamplop, dan aku letakkan dilemari bajuku, tidak pernah aku berikan untuknya.
Mobil yang dia berikan untukku, aku kembalikan padanya. Aku mengumpulkan tabunganku yang kusisakan dari uang belanja, lalu aku belikan motor untuk mengantar dan menjemput anak-anakku. Angga merasa heran. karna aku tidak pernah lagi manja dan minta dibelikan macam-macam merk tas dan baju. Aku terpuruk dalam kehancuranku. Aku dulu memintanya menikahiku, karna aku malu terlalu lama pacaran. Sedangkan teman-temanku sudah menikah semua. Ternyata dia memang tidak pernah menginginkan aku jadi istrinya.
Betapa tidak berharganya aku. Tidakkah dia juga tahu bahwa aku seorang perempuan yang berhak mendapatkan kasih sayang dari suaminya? kenapa dia tidak katakan saja bahwa dia tidak mencintai aku dan tidak menginginkan aku? itu lebih aku hargai dari pada dia cuma diam dan mengangguk dan melamarku, lalu menikahiku. Betapa malangnya nasibku. Angga terus menerus sakit-sakitan, dan aku tetap merawatnya dengan setia. Biarlah dia mencintai perempuan itu terus di dalam hatinya. Dengan pura-pura tidak tahu, aku sudah membuatnya bahagia dengan mencintai perempuan itu. Kebahagiaan Angga adalah kebahagiaaku juga. Karna aku akan selalu mencintainya.
***********************
Setahun kemudian..........
Wina membuka amplop-amplop surat itu dengann air mata berlinang. Tanah pemakaman itu masih basah merah dan masih dipenuhi bunga.
"Angga, suamiku........ Aku tidak pernah menyangka pertemuan kita saat aku pertama kali bekerja dikantormu, akan membawaku pada cinta sejatiku. Aku begitu terpesona padamu yang pendiam dan tampak dingin. Betapa senangnya aku ketika aku tidak bertepuk sebelah tangan. Aku begitu mencintamu, dna begitu possesif ingin memilikimu seutuhnya. Aku sering marah, ketika kamu asyik bekerja dan tidak memepedulikan aku. Aku merasa diatas angin ketika kamu hanya diam dan memenuhi keinginanku. Aku pikir, aku si Putri cantik yang diinginkan banyak Pria, telah memenuhi ruang hatimu dan kamu terllau mencintaiku sehingga mau melakukan apa saja untukku. Ternyata, aku keliru. Aku menyadarinya tepat sehari setelah pernikahan kita. Ketika aku membanting hadiah jam tangan dari seorang teman kantor dulu yang aku tahu sebenarnya menyukaimu. Aku melihat matamu begitu terluka. ketika berkata, "Kenapa Lanie? kenapa kamu mesti cemburu? dia sudah menikah, dan aku sudah memilihmu menjadi istriku".  Aku tidak peduli, dan berlalu dari hadapanmu dengan sombongnya. Sekarang aku menyesal, memintamu melamarku. Engkau tidak pernah bahagia bersamaku. Aku adalah hal terburuk dalam kehidupan cintamu. Aku bukanlah wanita sempurna yang engkau inginkan.
Istrimu, Lanie.

Disurat yang lain, ".....kehadiran perempuan itu membuatmu berubah, engkau tidak lagi sedingin es. Engkau mulai terasa hangat. Namun tetap saja aku tidak pernah melihat cahaya cinta dari matamu untukku, sepertinya aku melihat cahaya yang penuh cinta itu berpendar dari kedua bola matamu saat memandang Wina...."

Disurat yang kesekian, "......Aku bersumpah, akan membuatmu jatuh cinta padaku. Aku telah berubah Angga. Engkau lihatkan, aku tidak lagi marah-marah padamu, aku tidak lagi suka membanting-banting barang dan berteriak ketika emosi. Aku belajar masak, dan selalu membuatkan masakan yang engkau sukai. Aku tidak lagi boros, dan suka menabung. Aku tidak lagi suka bertengkar dengan Ibumu. Aku selalu tersenyum menyambutmu pulang ke rumah. Dan aku selalu menelponmu, untuk menanyakan, sudahkah kekasih hatiku makan siang? Aku merawatmu jika engkau sakit, aku tidak kesal saat engkau tidak mau aku suapi, aku menungguimu sampai tertidur disamping tempat tidurmu, di rumah sakit saat engkau di rawat, karna penyakit pencernaanmu yang selalu bermasalah.......... Meskipun belum terbit juga, sinar cinta itu dari matamu, aku akan tetap berusaha menantinya.

Wina menghapus air mata yang terus mengalir dari kedua mata indahnya. dipeluknya Alika yang tersedu-sedu disampingnya.
Disurat terakhir. Pagi ini, "......... hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang ke 9. Tahun lalu engkau tidak pulang ke rumah, tapi tahun ini aku akan memksamu pulang, karna hari ini aku akan masak, masakan yang paling enak sedunia. Kemarin aku belajar membuatnya di rumah Bude Tati, sampai kehujanan dan basah kuyup, karna waktu pulang hujannya deras sekali, dan aku hanya mengendarai motor. saat aku tiba di rumah kemarin malam, aku melihat sinar kekhawatiran dimatamu. Engkau memelukku dan menyuruhku cepat ganti baju agar tidak sakit. Tahukah engkau suamiku, Selama hampir 15 tahun aku mengenalmu, 6 tahun kita pacaran, dan hampir 9 tahun kita menikah, baru kali ini aku melihat sinar kekhawatiran itu dari matamu. inikah tanda-tanda cinta mulai bersemi dihatimu?

Alika menatap Wina dan kemudian bercerita, "Siang itu Mama menjemputku dengan motornya, dari jauh aku melihat keceriaan diwajah Mama. Dia terus melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Aku tidak pernah melihat wajah yang sangat bersinar dari Mama seperti siang itu. Dia begitu cantik. Meskipun dulu sering marah-marah kepadaku, tapi aku selalu menyayanginya. Mama memarkir motornya disebrang jalan. Ketika Mama menyebrang jalan, tiba-tiba mobil itu lewat dengan kecepatan tinggi. Aku tidak sanggup melihatnya terlontar. Tante, aku melihatnya masih memandangku sebelum dia tidak lagi bergerak".

Alika memeluk Wina dan terisak-isak. Bocah cantik ini masih terlalu kecil untuk merasakan sakit dihatinya, tapi dia sangat dewasa.
Wina mengeluarkan selembar kertas yang ia print tadi pagi... "Angga mengirim email lagi tadi malam, dan tadinya aku ingin Lanie membacanya".
Dear Wina, Selama setahun ini aku mulai merasakan Lanie berbeda, dia tidak lagi marah-marah dan selalu berusaha menyenangkan hatiku. dan tadi, dia pulang dengan tubuh basah kuyup karna kehujanan, aku snagat khawatir dan memluknya. Tiba-tiba, aku baru menyadari betapa beruntungnya aku memiliki dia. Hatiku mulai bergetar. Inikah tanda-tanda aku mulai mencintainya? Aku terus berusaha mencintainya seperti yang engkau sarankan, Wina. dan besok aku akan memberikan surprise untuknya. Aku akan membelikan mobil mungil untuknya, supaya dia tidak lagi naik motor ke mana-mana. Bukan karna dia Ibu dari anak-anakku, tapi karna dia belahan jiwaku".

Wina menatap Angga yang semakin ringkih, yang masih terduduk disamping nisan Lanie. Diwajahnya tampak duka yang dalam. Semuanya telah terjadi Angga. Kadang kita baru menyadari mencintai seseorang, ketika sesorang itu telah pergi meninggalkan kita.
Jakarta, 7 Januari 2009 (Dedicated to my friend.... may you rest in peace)
 

Pudarnya Pesona Cleopatra


Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalam kandungan aku telah
dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal. “Ibunya Raihana adalah teman
karib ibu waktu nyantri di pesantren Mangkuyudan Solo dulu,” kata ibu.
“Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan untuk
memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon keikhlasanmu,” ucap beliau
dengan nada mengiba.
Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku menuruti
keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi mentari pagi di
hatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku.
Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun sesungguhnya
dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja dan tidak tahu
alasannya. Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian tersendiri untuk calon istriku.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai. Saat
khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida adikku, ia memang
baby face dan anggun. Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan
sama sekali.
Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, “Cantiknya alami, bisa jadi bintang iklan
Lux lho, asli !” kata tante Lia. Tapi penilaianku lain, mungkin karena aku begitu hanyut
dengan gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita,
dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas Arab, dan bibir yang merah.
Di hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku
untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia.
Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Hari
pernikahan datang. Duduk di pelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta,
Pestapun meriah dengan empat group rebana. Lantunan shalawat Nabipun terasa
menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris
dan jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT
atas baktiku pada ibuku yang kucintai. Rabbighfir li wa liwalidayya!
Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta, hanya sekedar
karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayatNya. Raihana tersenyum
mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan kepura-puraanku.
***
Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir kota Malang. Mulailah
kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah hidup berkeluarga
tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan makhluk yang bernama
Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit cintaku belum juga tumbuh. Suaranya yang
lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh tetap terasa asing.
Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini
muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini, apalagi pada
istri sendiri yang seharusnya kusayang dan kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain.
Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang
tamu atau ruang kerja. Aku merasa hidupku ada lah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia,
pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia.
Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama, karena ia orang
yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab, “tidak apa-apa koq mbak,
mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus belajar berumah tangga.”
Ada kekagetan yang kutangkap di wajah Raihana ketika kupanggil ‘mbak’, “Kenapa Mas
memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa Mas sudah tidak mencintaiku,” tanyanya
dengan guratan wajah yang sedih.
“Wallahu a’lam,” jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam
menunduk, tak lama kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku, “Kalau Mas
tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri, kenapa Mas ucapkan akad nikah?”
“Kalau dalam tingkahku melayani Mas masih ada yang kurang berkenan, kenapa Mas
tidak bilang dan menegurnya, kenapa Mas diam saja, aku harus bersikap bagaimana
untuk membahagiakan Mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi
pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku di dunia ini,” Raihana mengiba penuh
pasrah.
Aku menangis menitikkan air mata, bukan karena Raihana tetapi karena kepatunganku.
Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang
asing tetapi Raihana tetap melayaniku, menyiapkan segalanya untukku.
***
Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai di rumah habis maghrib, bibirku
pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali segelas kopi buatan Raihana tadi pagi.
Memang aku berangkat pagi karena ada janji dengan teman. Raihana memandangiku
dengan khawatir.
“Mas tidak apa-apa,” tanyanya dengan perasaan kuatir. “Mas mandi dengan air panas
saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi mendidih,” lanjutnya. Aku melepas
semua pakaian yang basah. ”Mas airnya sudah siap,” kata Raihana. Aku tak bicara
sepatah katapun, aku langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi
Raihana telah berdiri di depan pintu membawa handuk. ”Mas aku buatkan wedang jahe.”
Aku diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa kutahan.
Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit
pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu. “Mas masuk angin. Biasanya kalau
masuk angin diobati pakai apa, pakai balsam, minyak putih, atau jamu?” tanya Raihana
sambil menuntunku ke kamar. ”Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang
harus kulakukan untuk membantu Mas”.
“Biasanya dikerokin,” jawabku lirih. “Kalau begitu kaos mas dilepas ya, biar Hana
kerokin,” sahut Raihana sambil tangannya melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang
dimanja ibunya. Raihana dengan sabar mengeroki punggungku dengan sentuhan
tangannya yang halus.
Setelah selesai dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur kacang hijau.
Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk di kursi tak jauh
dari tempat tidur sambil menghafal Al Quran dengan khusyu. Aku kembali sedih dan
ingin menangis, Raihana manis tapi tak semanis gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra.
Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku untuk makan
malam di istananya. “Aku punya keponakan namanya Mona Zaki, nanti akan aku
perkenalkan denganmu,” kata Ratu Cleopatra. “Dia memintaku untuk mencarikannya
seorang pangeran, aku melihatmu cocok dan berniat memperkenalkannya denganmu.”
Aku mempersiapkan segalanya. Tepat pukul 07.00 aku datang ke istana, kulihat Mona
Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan aku duduk di
kursi yang berhias berlian.
Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba “Mas, bangun, sudah jam setengah
empat, mas belum sholat Isya,” kata Raihana membangunkanku. Aku terbangun dengan
perasaan kecewa. “Maafkan aku Mas, membuat Mas kurang suka, tetapi Mas belum
sholat Isya,” lirih Hana sambil melepas mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat
malam.
Meskipun cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi semakin
tidak suka sama dia, dialah pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia
bersalah, bukankah dia berbuat baik membangunkanku untuk sholat Isya.
Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu dari mana sulitnya.
Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar terpenjara dalam suasana konyol.
Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa
bisa dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.
***
“Mas, nanti sore ada acara aqiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga akan datang
termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng, tidak enak kalau kita
yang dieluk-elukan keluarga tidak datang,” suara lembut Raihana menyadarkan
pengembaraanku pada Jaman Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi
onde-onde kesukaanku dan segelas wedang jahe.
Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja. “Maaf..maaf jika
mengganggu Mas, maafkan Hana,” lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak meninggalkan
aku di ruang kerja. “Mbak! Eh maaf, maksudku D..Din..Dinda Hana!,” panggilku dengan
suara parau tercekak dalam tenggorokan.
“Ya Mas!” sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan
menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia
dipanggil ‘dinda’. Matanya sedikit berbinar. “Te..terima kasih Di..dinda, kita berangkat
bareng kesana, habis sholat dhuhur, insya Allah,” ucapku sambil menatap wajah Hana
dengan senyum yang kupaksakan.
Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum bersinar di
bibirnya. “Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau pakai baju yang mana Mas, biar
dinda siapkan? Atau biar dinda saja yang memilihkan ya?” Hana begitu bahagia.
Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan bakti meskipun
aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku belum pernah melihatnya
memasang wajah masam atau tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah
tidak sukanya belum pernah.
Bah, lelaki macam apa aku ini, kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-maki diriku
sendiri atas sikap dinginku selama ini. Tapi, setetes embun cinta yang kuharapkan
membasahi hatiku tak juga turun. Kecantikan aura titisan Cleopatra itu? Bagaimana aku
mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku sendiri di dunia
ini.
Acara pengajian dan aqiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana membawa
sejarah baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana, kami dielu-elukan
keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga. “Selamat datang pengantin
baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal dalam keluarga!” sambut Yu Imah
disambut tepuk tangan bahagia mertua dan bundaku serta kerabat yang lain. Wajah
Raihana cerah. Matanya berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku menangis
disebut pasangan ideal.
Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan terbaik di
kampusnya dan hafal al-Quran lantas disebut ideal? Ideal bagiku adalah seperti Ibnu
Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta yang sampai pada pengorbanan satu sama
lain. Rasa cinta yang tidak lagi memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang
dari detik ke detik meneteskan rasa bahagia.
Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki Raihana.
Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap
Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada ibuku dan
semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali menyanjung kebaikanku sebagai seorang
suami yang dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku
sendiri dibuat pusing dengan sikapku.
Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang keturunan. “Sudah
satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada tanda-tandanya ya, padahal aku ingin
sekali menimang cucu,” kata ibuku. “Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu,
doakanlah kami. Bukankah begitu, Mas?” sahut Raihana sambil menyikut lenganku, aku
tergagap dan mengangguk sekenanya.
Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana. Aku berpurapura
kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab
bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi
ibuku. Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri.
Raihana hamil. Ia semakin manis.
Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak kunjung tiba.
Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera. Sejak itu aku semakin sedih
sehingga Raihana yang sedang hamil tidak kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku
bertanya, “Mana tanggung jawabmu!” Aku hanya diam dan mendesah sedih. “Entahlah,
betapa sulit aku menemukan cinta,” gumamku.
Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan ke enam.
Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alasan kesehatan.
Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia ke rumahnya.
Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh
curiga ketika aku harus tetap tinggal di kontrakan. Ketika aku pamitan, Raihana berpesan,
“Mas, untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang
ada di ATM. Aku taruh di bawah bantal, nomor pin-nya sama dengan tanggal pernikahan
kita.”
Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari aku tidak bertemu
dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa demikian. Hanya
saja aku sedikit repot, harus menyiapkan segalanya. Tapi toh bukan masalah bagiku,
karena aku sudah terbiasa saat kuliah di Mesir.
Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat aku pulang
kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku benar-benar lemas.
Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut mual. Saat itu terlintas di hati
andaikan ada Raihana, dia pasti telah menyiapkan air panas, bubur kacang hijau,
membantu mengobati masuk angin dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku
istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut.
Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam enam pagi. Badan
sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya dan terlambat sholat
subuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada Raihana tentu aku ngak meninggalkan sholat
Isya, dan tidak terlambat sholat subuh.
Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus. Apalagi aku
mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen mata kuliah
bahasa Arab. Diantaranya tutornya adalah professor bahasa Arab dari Mesir. Aku jadi
banyak berbincang dengan beliau tentang Mesir.
Dalam pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa Arab
dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman hidup
yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani. ”Apakah kamu sudah menikah?” kata Pak
Qalyubi.
“Alhamdulillah, sudah,” jawabku.
“Dengan orang mana?”.
“Orang Jawa.”
“Pasti orang yang baik ya. Iya kan? Biasanya pulang dari Mesir banyak saudara yang
menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan
pesantren. Istrimu dari pesantren?”.
“Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran”.
“Kau sangat beruntung, tidak sepertiku.”
“Kenapa dengan Bapak?” “Aku melakukan langkah yang salah, seandainya aku tidak
menikah dengan orang Mesir itu, tentu batinku tidak merana seperti sekarang”.
“Bagaimana itu bisa terjadi?.”
“Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dan karena terpesona dengan
kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya begini, saya seorang anak tunggal dari
seorang yang kaya, saya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tua. Di sana saya
bersama kakak kelas namanya Fadhil, orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya
waktu, tahun pertama saya lulus dengan predikat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi
pelajar dari Indonesia.
Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah tempat saya tinggal
menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak
pakai jilbab. Pada pandangan pertama saya jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis
secantik itu. Saya bersumpah tidak akan menikah dengan siapapun kecuali dia. Ternyata
perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar oleh Fadhil.
Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan anak tuan rumah itu atau sekalian
lanjutkan dengan menikahinya. Saya memilih yang kedua.
Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan begini,
sama-sama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi Al-Azhar yang
hafal al-Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih selamat dari pada dengan Yasmin yang
awam pengetahuan agamanya. Tetapi saya tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya
yang tinggi saya berhasil menikahi Yasmin.
Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir. Perabot rumah yang
mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai S-1 saya kembali ke Medan, saya
minta agar asset yang di Mesir dijual untuk modal di Indonesia. Kami langsung membeli
rumah yang cukup mewah di kota Medan.
Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak ke
Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan
Yasmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak kami yang ketiga lahir,
tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta Yasmin untuk berhemat. Tidak setiap
tahun tetapi tiga tahun sekali, Yasmin tidak bisa.
Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak terpenuhi. Sawah
terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya mulai muncul penyesalan.
Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir yang hidup dengan tenang dan damai
dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik. Dicintai
masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan. Jika saya pengin
rending, saya harus ke warung. Yasmin tidak mau tahu dengan masakan Indonesia.
Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan namanya. Jika ada
sedikit letupan, maka rumah seperti neraka. Puncak penderitaan saya dimulai setahun
yang lalu. Usaha saya bangkrut, saya minta Yasmin untuk menjual perhiasannya, tetapi
dia tidak mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan
sepupunya. Sepupunya mendapat suami orang Mesir.
Saya menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah diperbudak dengan
kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka
menjual rumah dan tanah, yang akhirnya mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit.
Batin saya menangis. Mereka berharap modal itu cukup untuk merintis bisnis saya yang
bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin mulai berulah, dia mengajak ke Mesir.
Waktu di Mesir itulah puncak tragedi yang menyakitkan. “Aku menyesal menikah
dengan orang Indonesia, aku minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa bahagia kecuali
dengan lelaki Mesir.”
Kata Yasmin yang bagaikan geledek menyambar. Lalu tanpa dosa dia bercerita bahwa
tadi di KBRI dia bertemu dengan temannya. Teman lamanya itu sudah jadi bisnisman,
dan istrinya sudah meninggal.
Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia
karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu saya dilaporkan ke polisi. Yang
menyakitkan adalah tak satupun keluarganya yang membelaku. Rupanya selama ini
Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita bohong.
Sejak saat itu saya mengalami depresi. Dua bulan yang lalu saya mendapat surat cerai
dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah Yasmin dengan temannya. Hati saya
sangat sakit, ketika si sulung menggigau meminta ibunya pulang.”
Mendengar cerita Pak Qalyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan hidupnya
menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya terbayang dimataku, tak terasa
sudah dua bulan aku berpisah dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap
dihati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apapun. Bahkan yang keluar
adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah aku mendapatkan
istri seperti dia. Meskipun hatiku belum terbuka lebar, tetapi wajah Raihana telah
menyala di dindingnya. Apa yang sedang dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana
kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat
pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan tabungannya.
Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke toko baju muslim, aku ingin
membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. Aku ingin memberikan
kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tidak langsung ke rumah
mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil uang tabungan, yang disimpan di bawah
bantal. Di bawah kasur itu kutemukan kertas merah jambu. Hatiku berdesir, darahku
terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta untuk
istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan
istriku serong.
Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan Rabbi, ternyata surat-surat itu adalah
ungkapan hati Raihana yang selama ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian
mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan
nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan
dukanya. Dan ya Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya.
Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.
“Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh di hadapan-Mu. Lakal hamdu ya
Rabb. Telah Kau muliakan hamba dengan al-Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu
yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok ke dalam jurang kenistaan. Ya Rabbi,
curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba,” tulis Raihana.
Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa, “Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil penuh
noda dan dosa kembali datang mengetuk pintu-Mu, melabuhkan derita jiwa ini ke
hadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh derita dan
kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak mempedulikanku dan
menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa
kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang masih
ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi
pada suamiku.
Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena kelalaiannya.
Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba masih
tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap berbakti dan
memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba sangat mencintainya
karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan
teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak
disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau.”
Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang luar biasa.
Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Raihana terbayang. Wajahnya yang
baby face dan teduh, pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya
yang lembut, tangannya yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang
mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam keharuan terasa ada angin sejuk yang turun
dari langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona Cleopatra telah memudar
berganti cinta Raihana yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba
begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat di mata. Aku
tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk membagi cintaku dengan
Raihana.
Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang menetes
sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku meledak.
Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air mataku. Melihat kedatanganku, ibu
mertuaku memelukku dan menangis tersedu- sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis.
“Mana Raihana Bu?”. Ibu mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa
sebenarnya yang telah terjadi.
“Raihana..., istrimu....istrimu dan anakmu yang di kandungnya”.
“Ada apa dengan dia?”
“Dia telah tiada.”
“Ibu berkata apa!”
“Istrimu telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami
membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum meninggal, dia
berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya selama
menyertaimu. Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta
maaf telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau meridhionya”.
Hatiku bergetar hebat. “Kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?”.
“Ketika Raihana di bawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang untuk
menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi ke kampus katanya
kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin mengganggumu. Apalagi Raihana
berpesan agar kami tidak mengganggu ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika
Raihana meninggal kami sangat sedih, jadi maafkanlah kami.”
Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan cinta
Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku, dia telah meninggalkanku.
Ketika aku ingin memuliakannya dia telah tiada. Dia telah meninggalkan aku tanpa
memberi kesempatan padaku untuk sekedar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan
telah menghukumku dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira.
Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru di kuburan pinggir
desa. Di atas gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama dan hari wafat Raihana tertulis
disana. Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa. Aku
ingin Raihana hidup kembali. Dunia tiba-tiba gelap semua.[]
Potongan dari Novel:
Habiburrahman El Shirazy, Pudarnya Pesona Cleopatra (Novel Psikologi Islam
Pembangun Jiwa)

Mandikan Aku Bunda


Bincang-bincang soal pembagian tugas suami-isteri, selalu saja menarik. Sepanjang masa berbagai argumen dikemukan, tidak sedikit para ustadz dan ulama urun rembug memberikan arahan dan fatwa. Selama itu pula, sepertinya ada saja fenomena yang pantas untuk diungkap.

Sebagian akhwat atau wanita menganggap tugas wanita lebih sebagai manajer di rumahnya tanpa perlu dipusingkan urusan dapur, mencuci baju, dan merawat anak yang lebih pantas dilakukan oleh para bawahan, alias pembantu ataupun baby-sitter. Peran sosial dan aktualisasi diri menjadi lebih utama. Di sisi lain, tidak sedikit akhwat yang tetap “teguh” dan bangga dengan kesibukan seputar urusan dapur dan diaper ini. Mereka cukup puas dengan imbalan surga untuk jerih payahnya membenamkan muka di asap “sauna” mazola (minyak goreng) dan berparfumkan aroma popok bayi.
Saya tidak hendak membahas kekurangan dan kelebihan kedua sisi ini. Seperti saya tulis di muka, sudah banyak para ulama dan ustadz yang memberikan arahan. Saya hanya ingin bertutur tentang seorang sahabat saya. Sebut saja Rani namanya.

Semasa kuliah ia tergolong berotak cemerlang dan memiliki idealisme yang tinggi. Sejak awal, sikap dan konsep dirinya sudah jelas : meraih yang terbaik, baik itu dalam bidang akademis maupun bidang profesi yang akan digelutinya. Ketika Universitas mengirim kami untuk mempelajari Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, di negerinya bunga tulip, beruntung Rani terus melangkah. Sementara saya, lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran dan berpisah dengan seluk beluk hukum dan perundangan. Beruntung pula, Rani mendapat pendamping yang “setara ” dengan dirinya, sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.

Alifya, buah cinta mereka lahir ketika Rani baru saja diangkat sebagai staf Diplomat bertepatan dengan tuntasnya suami Rani meraih PhD. Konon nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah “alif” dan huruf terakhir “ya”, jadilah nama yang enak didengar : Alifya. Tentunya filosofi yang mendasari pemilihan nama ini seindah namanya pula.
Ketika Alif, panggilan untuk puteranya itu berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila saja. Frekuensi terbang dari satu kota ke kota lain dan dari satu negara ke negara lain makin meninggi.
Saya pernah bertanya , ” Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal ?” Dengan sigap Rani menjawab : ” Saya sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Everything is ok.” Dan itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya walaupun lebih banyak dilimpahkan ke baby sitter betul-betul mengagumkan. Alif tumbuh menjadi anak yang lincah, cerdas dan pengertian. Kakek neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu tentang ibu-bapaknya.
” Contohlah ayah-bunda Alif kalau Alif besar nanti.” Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani bertutur disela-sela dongeng menjelang tidurnya. Tidak salah memang. Siapa yang tidak ingin memiliki anak atau cucu yang berhasil dalam bidang akademis dan pekerjaannya. Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau Alif minta adik. Waktu itu Ia dan suaminya menjelaskan dengan penuh kasih-sayang bahwa kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini “dapat memahami” orang tuanya.

Mengagumkan memang. Alif bukan tipe anak yang suka merengek. Kalau kedua orang tuanya pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Kisah Rani, Alif selalu menyambutnya dengan penuh kebahagiaan. Rani bahkan menyebutnya malaikat kecil. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orang tua sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam hati kecil saya menginginkan anak seperti Alif.
Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby-sitternya. ” Alif ingin bunda mandikan.” Ujarnya. Karuan saja Rani yang dari detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, menjadi gusar. Tak urung suaminya turut membujuk agar Alif mau mandi dengan tante Mien, baby-sitternya. Persitiwa ini berulang sampai hampir sepekan,” Bunda, mandikan Alif?” begitu setiap pagi. Rani dan suaminya berpikir, mungkin karena Alif sedang dalam masa peralihan ke masa sekolah jadinya agak minta perhatian.
Suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. ” Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency”. Setengah terbang, saya pun ngebut ke UGD. But it was too late. Allah sudah punya rencana lain. Alif, si Malaikat kecil keburu dipanggil pemiliknya.
Rani, bundanya tercinta, yang ketika diberi tahu sedang meresmikan kantor barunya,shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan anaknya. Dan itu memang ia lakukan, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. ” Ini bunda, Lif. Bunda mandikan Alif.” Ucapnya lirih, namun teramat pedih.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu berkata, ” Ini sudah takdir, iya kan ? Aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, dia pergi juga kan ? “. Saya diam saja mendengarkan. ” Ini konsekuensi dari sebuah pilihan.” lanjutnya lagi, tetap tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja berbaur aroma kamboja. Tiba-tiba Rani tertunduk. ” Aku ibunya !” serunya kemudian, ” Bangunlah Lif. Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan bunda sekali lagi saja, Lif”. Rintihan itu begitu menyayat. Detik berikutnya ia bersimpuh sambil mengais-kais tanah merah ?..
Sekali lagi, saya tidak ingin membahas perbedaan sudut pandang pembagian tugas suami isteri. Hanya saja, sekiranya si kecil kita juga bergelayut : ” Mandikan aku, Bunda .” Akankah kita menolak ? Ataukah menunggu sampai terlambat ?

Wassalam,
Ema
www.imsa.nu

Ketika Mas Gagah Pergi

Mas gagah berubah! Ya, beberapa bulan belakangan ini masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah!
Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Tehnik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja…ganteng !Mas Gagah juga sudah mampu membiayai sekolahnya sendiri dari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA.
Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku ke mana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak bagiku.
Saat memasuki usia dewasa, kami jadi semakin dekat.Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercanda dengan teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelocon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan-makan dulu di restoran, atau bergembira ria di Dufan Ancol.
Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya.
“Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?”
“Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang rumahku suka membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho! Gila, berabe kan?!”
“Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku?”
Dan banyak lagi lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku Cuma mesem-mesem bangga.
Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum juga punya pacar. Apa jawabnya?
“Mas belum minat tuh! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati! He..he..he…”Kata Mas Gagah pura-pura serius.
Mas Gagah dalam pandanganku adalah cowok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tetapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tetapi tidak pernah meninggalkan shalat!
Itulah Mas Gagah!
Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah! Drastis! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang kubanggakan kini entah kemana…
“Mas Gagah! Mas! Mas Gagaaaaaahhh!” teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras. Tak ada jawaban. Padahal kata Mama, Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa kubaca. Tetapi aku bisa membaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi salam!
“Assalaamu’alaikum!”seruku.
Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.
“Wa alaikummussalaam warohmatullahi wabarokatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?” tanyanya.
“Matiin kasetnya!”kataku sewot.
“Lho memangnya kenapa?”
“Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah! Memangnya kita orang Arab…, masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!” aku cemberut.
“Ini Nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita!”
“Bodo!”
“Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri,” kata Mas Gagah sabar. “Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek.., Mama bingung. Jadinya ya dipasang di kamar.”
“Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru…,eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!”
“Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…”
“Pokoknya kedengaran!”
“Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus lho!”
“Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!” Aku ngeloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah.
Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Ke mana kaset-kaset Scorpion, Wham, Elton John, Queen, Eric Claptonnya?”
“Wah, ini nggak seperti itu Gita! Dengerin Scorpion atau Eric Clapton belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lainlah ya dengan nasyid senandung islami. Gita mau denger? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok!” begitu kata Mas Gagah.
Oala.
Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak Cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya.
Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Shalat tepat waktu berjamaah di Mesjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau membaca buku Islam. Dan kalau aku mampir ke kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya “Ayo dong Gita, lebih feminim. Kalau kamu mau pakai rok, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba adik manis, ngapain sih rambut ditrondolin begitu!”
Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga tidak pernah keberatan kalau aku meminjam baju kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu selalu memanggilku Gito, bukan Gita! Eh sekarang pakai panggil adik manis segala!
Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga Mama menegurnya.
“Penampilanmu kok sekarang lain Gah?”
“Lain gimana Ma?”
“Ya nggak semodis dulu. Nggak dendy lagi. Biasanya kamu kan paling sibuk sama penampilan kamu yang kayak cover boy itu…”
Mas Gagah cuma senyum. “Suka begini Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun.”
Ya, dalam pandanganku Mas Gagah kelihatan menjadi lebih kuno, dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. “Jadi mirip Pak Gino.” Komentarku menyamakannya dengan supir kami. “Untung aja masih lebih ganteng.”
Mas Gagah cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu. Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama dan bercanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah kebingungan.
Dan..yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah?”
“Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau jabatan tangan sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di sanggar Gita tahu?” tegurku suatu hari. “Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang!”
“Justru karena Mas menghargai dia, makanya Mas begitu,” dalihnya, lagi-lagi dengan nada yang amat sabar. “Gita lihat kan gaya orang Sunda salaman? Santun tetapi nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!”
Huh, nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu…, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?”
Mas Gagah membuka sebuah buku dan menyorongkannya kepadaku.”Baca!”
Kubaca keras-keras. “Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah, Rasulullah Saw tidak pernah berjabatan tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhori Muslim.”
Mas Gagah tersenyum.
“Tapi Kyai Anwar mau salaman sama Mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali…,” kataku.
“Bukankah Rasulullah qudwatun hasanah? Teladan terbaik?” Kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. “Coba untuk mengerti ya dik manis?”
Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel.
Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik. Aku jadi khawatir, apa dia lagi nuntut ilmu putih? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun akhirnya aku tidak berani menduga demikian. Mas Gagah orangnya cerdas sekali. Jenius malah. Umurnya baru dua puluh satu tahun tetapi sudah tingkat empat di FT-UI. Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya…yaaa akhir-akhir ini dia berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam.
“Mau kemana Gita?”
“Nonton sama temen-temen.” Kataku sambil mengenakan sepatu.”Habis Mas Gagah kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya.”
“Ikut Mas aja yuk!”
“Ke mana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah. Gita kayak orang bego di sana!”
Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu lalu Mas Gagah mengajak aku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tablig akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku diliatin sama cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya aku ke sana dengan memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tidak bisa disembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.
“Assalamualaikum!” terdengar suara beberapa lelaki.
Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman Mas Gagah. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku…, persis kelakuannya Mas Gagah.
“Lewat aja nih, Gita nggak dikenalin?”tanyaku iseng.
Dulu nggak ada teman Mas Gagah yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah bahkan nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome.
Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. “Ssssttt.”
Seperti biasa aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal keislaman, diskusi, belajar baca Quran atau bahasa Arab… yaa begitu deh!
“Subhanallah, berarti kakak kamu ihkwan dong!” Seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah hampir sebulan berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya.
“Ikhwan?’ ulangku. “Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?” Suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.
“Husy, untuk laki-laki ikhwan dan untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita.” Ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya. “Kamu tahu Hendra atau Isa kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini.”
Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.
“Udah deh Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji. Insya Allah kamu akan tahu menyeluruh tentang agama kita ini. Orang-orang seperti Hendra, Isa atau Mas Gagah bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya aja yang belum ngerti dan sering salah paham.”
Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku ia menjelma begitu dewasa.
“Eh kapan kamu main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat Gita…mesti kita mempunyai pandangan yang berbeda, ” ujar Tika tiba-tiba.
“Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah…” kataku jujur. “Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih…”
Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin.” Aku senang kamu mau membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk, biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan dengan Mbak Ana.
“Mbak Ana?”
“Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amerika malah pakai jilbab. Ajaib. Itulah hidayah.
“Hidayah.”
“Nginap ya. Kita ngobrol sampai malam dengan Mbak Ana!”
“Assalaamualaikum, Mas ikhwan.. eh Mas Gagah!” tegurku ramah.
‘Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!” Kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku.
“Dari rumah Tika, teman sekolah, “jawabku pendek. “Lagi ngapain, Mas?”tanyaku sambil mengitari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak koleksi buku keislaman…
“Cuma lagi baca!”
“Buku apa?”
“Tumben kamu pingin tahu?”
“Tunjukkin dong, Mas…buku apa sih?”desakku.
“Eiit…eiitt Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya. Dia tertawa dan menyerah. “Nih!”serunya memperlihatkan buku yang tengah dibacanya dengan wajah yang setengah memerah.
“Naah yaaaa!”aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku “Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam” itu.
“Maaas…”
“Apa Dik Manis?”
“Gita akhwat bukan sih?”
“Memangnya kenapa?”
“Gita akhwat atau bukan? Ayo jawab…” tanyaku manja.
Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara padaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami umatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu menjadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal-lainnya. Dan untuk pertamakalinya setelah sekian lama, aku kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu.
Mas Gagah dengan semangat terus bicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya.
“Mas kok nangis?”
“Mas sedih karena Allah, Rasul dan Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena umat banyak meninggalkan Quran dan sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan dan tidur beratap langit.”
Sesaat kami terdiam. Ah Mas Gagah yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli…
“Kok tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?” Tanya Mas Gagah tiba-tiba.
“Gita capek marahan sama Mas Gagah!” ujarku sekenanya.
“Memangnya Gita ngerti yang Mas katakan?”
“Tenang aja. Gita ngerti kok!” kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan demikian. Aku ngerti deh meskipun tidak begitu mendalam.
Malam itu aku tidur ditemani buku-buku milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah.
Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi seperti dulu. Meski aktifitas yang kami lakukan bersama kini berbeda dengan yang dulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat di mana tablig akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah. Kadang-kadang, bila sedikit terpaksa, Mama dan Papa juga ikut.
“Apa nggak bosan, Pa…tiap Minggu rutin mengunjungi relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?” tegurku.Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, “Iya deh, iya!”
Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung, soalnya pengantinnya nggak bersanding tetapi terpisah. Tempat acaranya juga begitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu juga diberi risalah nikah. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tidak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Harus Islami dan semacamnya. Ia juga mewanti-wanti agar aku tidak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek.
Aku nyengir kuda.
Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku, soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.
“Nyoba pakai jilbab. Git!” pinta Mas Gagah suatu ketika.
“Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol. Lagian belum mau deh jreng.
Mas Gagah tersenyum. “Gita lebih anggun jika pakai jilbab dan lebih dicintai Allah kayak Mama.”
Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab, gara-garanya dinasihati terus sama Mas Gagah, dibeliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin oleh teman-teman pengajian beliau.
“Gita mau tapi nggak sekarang,” kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku, prospek masa depan dan semacamnya.
“Itu bukan halangan.” Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu cepat sekali terpengaruh dengan Mas Gagah.
“Ini hidayah, Gita.” Kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.
“Hidayah? Perasaan Gita duluan yang dapat hidayah, baru Mama. Gita pakai rok aja udah hidayah.
“Lho! ” Mas Gagah bengong.
Dengan penuh kebanggaan kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara studi tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya. Aku yang berada di antara ratusan peserta rasanya ingin berteriak, “Hei itu kan Mas Gagah-ku!”
Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa. Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Quran dan hadits. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung, “Lho Mas Gagah kok bisa sih?” Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar.
Pada kesempatan itu Mas Gagah berbicara tentang Muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi. “Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagai identitas Muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam itu sendiri, ” kata Mas Gagah.
Mas Gagah terus bicara. Kini tiap katanya kucatat di hati.
Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan cara memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap hamdallah.
Aku mau kasih kejutan kepada Mas Gagah. Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapkan tasyakuran ulang tahun ketujuh belasku.
Kubayangkan ia akan terkejut gembira. Memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberi ceramah pada acara syukuran yang insya Allah akan mengundang teman-teman dan anak-anak yatim piatu dekat rumah kami.
“Mas ikhwan! Mas Gagah! Maasss! Assalaamualaikum! Kuketuk pintu Mas Gagah dengan riang.
“Mas Gagah belum pulang. “kata Mama.
“Yaaaaa, kemana sih, Ma??” keluhku.
“Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus…”
“Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam Minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Mesjid. ”
“Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah ingat ada janji sama Gita hari ini.” Hibur Mama menepis gelisahku.
Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali sama Mas Gagah.
“Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh!” Mama tertawa.
Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.
Sudah lepas Isya’ Mas Gagah belum pulang juga.
“Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh..” hibur Mama lagi.
Tetapi detik demi detik menit demi menit berlalu sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.
“Nginap barangkali, Ma.” Duga Papa.
Mama menggeleng. “Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa.”
Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya.
“Kriiiinggg!” telpon berdering.
Papa mengangkat telpon,”Hallo. Ya betul. Apa? Gagah?”
“Ada apa, Pa.” Tanya Mama cemas.
“Gagah…kecelakaan…Rumah Sakit Islam…” suara Papa lemah.
“Mas Gagaaaaahhhh” Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.
Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.
Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Kaki, tangan dan kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewas seketika sedang Mas Gagah kritis.
Dokter melarang kami masuk ke dalam ruangan.
” Tetapi saya Gita adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau melihat saya pakai jilbab ini.” Kataku emosi pada dokter dan suster di depanku.
Mama dengan lebih tenang merangkulku. “Sabar sayang, sabar.”
Di pojok ruangan Papa dengan serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram.
“Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?” tanyaku. “Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada acara syukuran Gita kan?” Air mataku terus mengalir.
Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding-dinding putih rumah sakit. Dan dari kaca kamar, tubuh yang biasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak bergerak.
“Mas Gagah, sembuh ya, Mas…Mas..Gagah, Gita udah menjadi adik Mas yang manis. Mas..Gagah…” bisikku.
Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah…Gita, Mama, Papa butuh Mas Gagah…umat juga.”
Tak lama Dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. “Ia sudah sadar dan memanggil nama Papa, Mama dan Gi..”
“Gita…” suaraku serak menahan tangis.
Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya sesuai permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya…lukanya terlalu parah.” Perkataan terakhir dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!.
“Mas…ini Gita Mas..” sapaku berbisik.
Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan wajahku kepadanya. “Gita sudah pakai jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya.”
Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.
“Dzikir…Mas.” Suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat tubuh Mas Gagah yang separuhnya memakai perban. Wajah itu begitu tenang.
“Gi..ta…”
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali.
“Gita di sini, Mas…”
Perlahan kelopak matanya terbuka.
“Aku tersenyum.”Gita…udah pakai…jilbab…” kutahan isakku.
Memandangku lembut Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdallah.
“Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas…” ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.
Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tidak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali. Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan tampaknya Mas Gagah menginginkan kami semua berkumpul.
Kian lama kurasakan tubuh Mas gagah semakin pucat, tetapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia masih bisa mendengar apa yang kami katakan, meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata.
Kuusap setitik lagi air mata yang jatuh. “Sebut nama Allah banyak-banyak…Mas,” kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup, tetapi sebagai insan beriman sebagaimana yang juga diajarkan Mas Gagah, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Gagah.
“Laa…ilaaha…illa..llah…Muham…mad Ra..sul …Allah… suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk bisa kami dengar.
Mas Gagah telah kembali kepada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi. Selamat jalan Mas Gagah.
Epilog:
Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku. Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.
Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan dik manis, aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Illahi yang selamanya tiada kan kudengar lagi. Hanya wajah para mujahid di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema d iruangan ini.
Setitik air mataku jatuh lagi.
“Mas, Gita akhwat bukan sih?”
“Ya, insya Allah akhwat!”
“Yang bener?”
“Iya, dik manis!”
“Kalau ikhwan itu harus ada janggutnya, ya?!”
“Kok nanya gitu sih?”
“Lha, Mas Gagah kan ada janggutnya?”
“Ganteng kan?”
“Uuuuu! Eh, Mas, kita kudu jihad ya?” Jihad itu apa sih?”
“Ya always dong, jihad itu…”
Setetes, dua tetes air mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. Selamat jalan Mas Ikhwan!Selamat jalan Mas Gagah!
Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi, Semoga memperoleh umur yang berkah,
Dan jadilah muslimah sejati
Agar Allah selalu besertamu.
Sun sayang,
Mas Ikhwan, eh Mas Gagah!